Tuesday, December 24, 2013
Thursday, December 12, 2013
We Are Crass - Bab 5 - Telaga Hitam - Part 3
WE
ARE CRASS
BAB
5
TELAGA
HITAM
PART
3
“Awal
Cerita”
Sosok itu kini berada tepat didepan Sivia, ingin sekali
rasanya sivia berteriak. Namun rasanya suaranya tak bisa keluar, ia mundur
perlahan menjauh dari baying baying itu. ia segera berlari sebisa mungkin,
berlari menjauh dari tempatnya berada, berlari ke tempat yang entah kemana
kakinya membawanya. Yang jelas ia hanya ingin pergi meninggalkan tempat ini
segera.
Friday, November 29, 2013
Katakan........
Descha adalah seorang
gadis remaja yang dianggap sempurna, memiliki postur tubuh idaman semua
cowok-cowok di sekolahnya, SMA Wijaya Kusuma adalah tempat sekolah Descha dan
kawanan teman dekatnya, Tania, Mikha, Tere, Jeni, dan Winda, mereka adalah
teman dekat Descha dari kelas satu SMA. Descha memang menyebut mereka hanya
teman dekat, baginya sahabat adalah seseorang yang benar-benar mengerti
keadaannya, terkadang mereka belum bisa mengerti keadaan Descha. Tetapi
keceriaan yang dimiliki Tania, Mikha, Tere, Jeni, dan Winda membuat Descha
sering tertawa terpingkal-pingkal karena salah satu dari mereka selalu
memberikan lelucon. Pertemanan itu sudah berjalan satu tahun, saat ini Descha
dan teman-teman duduk dibangku kelas dua SMA.
“Cha.” Nama panggilan
teman-teman untuk Descha.
“Ya.” Jawab Descha
singkat.
“Jalan yuk.” Ajak
Mikha.
“Hm… gimana ya, gue ada
ekskul jurnalistik suara nih.” Descha menatap teman-teman dengan tatapan
memelas.
“Ah. Gak asik deh.”
Celetuk Tere.
Teman-teman Descha
memang memiliki hobi hangout
sementara Descha tidak. Sifat dan sikap Descha dengan teman-temannya memang
bertolak belakang. Gadis idaman cowok-cowok sekolahnya ini lebih asyik dengan
dunianya sendiri, dunia khayal. Sebenarnya ia tidak ingin menolak ajakan
teman-temannya, tapi ekskul ini penting banget untuknya. Descha ingat setahun
yang lalu, ia pernah menolak ajakan teman-teman dan pada akhirnya dia
mendapatkan sanksi sosial alias dicuekin atau tidak diajak bicara selama dua
minggu, buat Descha itu hal yang tidak ia sukai. Setelah kejadian tersebut,
semua ajakan teman-temannya selalu ia terima. Hari ini, Descha kembali diuji
untuk menolak atau menerima tawaran teman-temannya.
“Gue ijin ke Ben dulu
ya.” Pamit Descha dan menghampiri Ben. Ben adalah ketua ekskul jurnalistik SMA
Wijaya Kusuma sekaligus pacar Descha. Ketika diruang redaksi, Descha melihat
Ben sedang mempersiapkan materi.
“Ben sorry ganggu.” Descha mengatakan dengan
hati-hati.
“Iya.” Ben menoleh ke
arah Descha.
“Gue ijin ekskul ya.”
Descha tidak berani menatap matanya Ben karena dia tahu apa yang akan terjadi.
“Udah berapa kali ijin
Cha? Mau pergi sama teman-teman lo yang egois itu?” Ben seperti membaca kondisi
Descha saat ini.
“Iya.” Ucap Descha
singkat.
“Mau sampai kapan Cha
lo ngalah terus sama temen-temen lo yang egois itu, yang cuma mikirin dunia happy, foya-foya, dan gak penting itu. Sorry ya Cha, terserah lo gue udah gak
bisa lagi ngebantuin lo untuk urusan perijinan.” Ben terlihat kesal. Biasanya
Ben sering memberikan alasan yang tepat masalah perijinan Descha yang tidak
masuk ekskul jurnalistik, dan semua teman-teman menerima alasan tersebut.
“Please.” Kata Descha memohon sambil memegang lengan Ben.
“Sorry, I can’t.” Ben meninggalkan Descha sendirian mematung.
Descha menjadi serba
salah, ia tidak tahu harus memilih yang mana. Rasanya ia ingin memilih dunia
jurnalistiknya, tetapi disatu sisi ia ingin pergi dengan teman-temannya. Ketika
keluar ruangan jurnalistik, Descha terlihat tidak bersemangat.
“Gimana Cha?” tanya
Mikha.
“Yuk cabut.” Jawab
Descha dengan senyuman yang menipu.
“Yuk!” jawab Tere,
Mikha, Tania, Jeni, dan Winda bersama-sama.
Selama perjalanan
menuju salah satu mall di Jakarta, Descha terlihat tidak berada bersama
teman-temannya, jiwanya saja yang ada bersama mereka, tetapi pikirannya ada
pada Ben, dan teman-teman jurnalistiknya.
***
“Ben” Descha mengikuti
arah jejak kaki Ben melangkah.
“Hm” Ben hanya
berdehem.
“Jangan marah dong,
hari ini gue ikut ekskul kok” senyum Descha.
“Nice.” Singkat Ben.
Hari ini Descha
mengikuti ekskul jurnalistik, dan teman-teman Descha masih menerima Descha,
untungnya dalam sesi kali ini Descha memiliki ide yang bagus untuk topik
majalah yang akan dibuat bulan depan, dan seisi ruangan redaksi menerima ide
tersebut. Descha sangat lega, bisa membalas kesalahannya dengan ide yang
didapatkannya dalam sekejap. Ben merasa bangga memiliki pacar seperti Descha
yang memiliki ide yang luar biasa kreatif. Selesai ekskul jurnalistik, Ben dan
Descha keluar paling terakhir dari ruangan redaksi.
“Dasar cewek doyan
ngayal.” Celetuk Ben sambil mengelus rambut Descha. Cewek didepan Ben hanya
tersenyum lega.
“Pulang yuk.” Ajak Ben
sambil menggandeng tangan Descha.
“Yuk.” Balas Descha.
Ketika menuju parkiran
motor Ben dan Descha bertemu dengan teman-teman dekat Descha. “Si egois
dateng.” Celetuk Ben. “Hei Cha, pulang bareng kita-kita yuk.” Ajak Mikha.
“Sorry ya, Descha pulang bareng gue.” Ben menggenggam tangan Descha
dengan erat dan mengajaknya untuk pergi dari kerumunan teman-teman egoisnya
Descha.
Ben langsung menyetater
motornya dan melaju dengan kencang. Descha memeluk Ben dengan erat, kecepatan
yang Ben laju membuat pacarnya merasa takut. “Jangan ngebut Ben” kata Descha
dalam pelukannya.
Sesampai dirumah
Descha, ia langsung turun dari motor pacarnya. “Gue mau tanya sama lo, kenapa
sih lo gak bilang aja sama temen-temen lo yang super egois itu, kalo lo tuh
capek mengalah terus demi mereka. Gue juga bingung sama lo, kenapa sih lo mau
ngalah sama mereka. Emang mereka tuh siapa kamu? Inget gak, setahun yang lalu
lo gak ketemu idola lo karena temen-temen lo yang ngajakin pergi ke Bali. Temen
macam apa kalau sikapnya kayak gitu sama lo. Teman tuh ya seharusnya bisa
ngertiin temannya yang lain, seenggaknya dia peduli sekali aja deh sama lo. Coba
sekarang, lo gak ketemu idola lo kan? Kapan lagi coba ketemu idola, kalau gak
yang tahun lalu itu? Sekarang cuma nyesel kan?” omel Ben tiada henti.
“Cukup!” kata Descha
menahan tangisnya.
“Jangan lembek jadi
orang, tegas!” kata-kata Ben membuat Descha mulai meneteskan air mata.
“Gue juga sayang sama
mereka, Ben. Gue disini pengen cari teman, bukan musuh.” Isak Descha.
“Gue tahu, tapi gak
terus-terusan ngalah gitu kan. Kalau lo sayang sama mereka, seharusnya lo kasih
tahu dong perlakuan negatif dia, supaya mereka tuh berubah. Seenggaknya
menghargai, peduli sama orang lain. Katakan, bukan dipendem dalam hati.
Lama-lama bikin sakit. Gue gak mau lo terus-terusan jadi korban ketidakadilan,
karena keegoisan temen-temen lo itu.” Ucapan Ben membuat Descha sadar, dan dia
memeluk Ben dengan erat. Betapa bahagianya Descah memiliki pacar seperti Ben,
yang selalu memberikan solusi setiap masalah yang terjadi dalam hidup Descha.
“Makasih ya Ben, gue
akan coba bilang gitu ke mereka” kata Descha masih dalam pelukan Ben.
“Gitu dong, ayo
senyum.” Ben meminta Descha untuk senyum, dan pacarnya pun mengikuti
perintahnya.
***
“Gue mau ngomong serius
sama kalian.” Descha membuka pembicaraan ketika mereka berkumpul.
“Mau ngomong apa sih
serius banget kayaknya.” Celetuk Tania
“Tahu nih, kayak mau
interogasi kita aja.” Timpal Jeni.
“Gini, gue ngerasa ada
sesuatu yang kurang baik dalam pertemanan kita, dan harus kita ubah.” Descha
menjelaskan secara perlahan-lahan agar tidak menyinggung perasaan
teman-temannya.
“Maksudnya? Perasaan baik-baik
aja kok pertemanan kita.” Tania tidak mengerti penjelasan Descha.
“Iya.” Jawab Tere.
“Gini, lho gue ngerasa
kalian tuh kurang perhatian sama sekitar kita. Terlalu mementingkan diri
sendiri.” Descha kembali menjelaskan.
“Hm…. Iya gue juga
ngerasain gitu.” Potong Winda.
Spontan mata Descha
melihat kearah Winda, “Maksudnya ngerasain hal yang sama Nda?” tanya Descha
pada Winda.
“Gue ngerti banget
maksud Descha apaan, maksudnya diantara kita itu egois kan?” Winda meyakinkan penjelasan Descha, dan dia mengangguk.
“Iya, gue sebenernya
ngerti banget perasaan Descha ketika dia gak bisa ketemu idolanya karena dia pergi
liburan sama kita ke Bali, dan dia selalu bolos ekskul demi kita. Gue juga
pernah ngalamin hal yang sama, waktu itu gue udah janjian sama Hans untuk pergi
ngerayain anniversary, tiba-tiba kalian ngerencanain sebuah kejutan ulang tahun
untuk Tania, akhirnya gue lebih mentingin pertemanan ini dari pada Hans, ada
hal lain gue juga takut dicuekin sama kalian, dan saat itu juga Hans langsung mutusin
gue. Gue berusaha happy di depan
kalian, padahal hati gue lagi sakit.” Winda mengingat kembali masa-masa
mendapatkan ketidakadilannya. Semua yang mendengar pengakuan Winda tidak dapat
berbicara apa-apa, yang ada hanyalah pelukan dan tangisan.
“Gue minta maaf” kata
Tere.
“Gue juga.” Tambah
Tania, Mikha, Jeni.
Semuanya terasa indah
ketika kita harus mengungkapkan apa yang kita tidak sukai dari sikap maupun
sifat teman-teman, karena biar bagaimana pun teman-teman tetap berharga dalam
hidup.
‘Terima
kasih Ben, yang sudah memberanikan gue untuk mengungkapkan perasaan ini pada
mereka. Lo emang pacar yang paling baik untuk gue.’ Batin
Descha dalam hati dan memeluk Tania, Mikha, Tere, Jeni, dan Winda.
Semuanya
akan terasa indah apabila ada suatu penjelasan dari sikap dan sifat kita yang
kurang berkenan dihati orang lain. Turunkan keegoisan dan ciptakan keadilan
demi terciptanya suatu kebahagian. Semua hal yang ada dalam hidup itu berarti.
Wednesday, November 27, 2013
Subscribe to:
Posts (Atom)